Saturday, October 31, 2009

Firasat

Adzan subuh belum lagi terdengar, Wak Komar sudah menuju ke sumur untuk berwudhu. Lazimnya orang-orang tua di kampung kami, Wak Komar selalu bersiwak untuk membersihkan mulutnya, sebelum dia berwudhu.

Ketika sedang bersiwak, gigi atas Wak Komar tiba-tiba tanggal, jatuh meloncat keluar bersama siwaknya. Gigi sebatang tercabut keluar bercampur dengan air ludah. Wak Komar terkejut bukan alang-kepalang!. Di benaknya, langsung terbayang akan terjadinya sebuah musibah yang menimpanya. Wak Komar cepat-cepat berwudhu, lalu shalat Subuh dengan khusyuk. Berdoa pada Alloh SWT semoga dijauhkan dari marabahaya.

Indera keenam Wak Komar boleh dibilang lumayan tajam. Kadang-kadang, apa-apa yang dirasakannya, dimimpikannya atau dialaminya selalu terjadi kemudian. Pernah misalnya, dulu, tangannya gatal-gatal. Menurut pandangan mata batinnya, firasatnya, dia bakal ketiban rejeki besar. Benar saja, tak lama, hasil kopranya dibeli saugadar besar dari Jakarta dengan harga cukup tinggi. Wak Komar kaya raya!, pergilah dia berhaji setelahnya.

Lain waktu, ketika sedang minum kopi di Kedai si Badrun, Wak Komar bercerita bahwa semalam dia bermimpi matanya berkedut-kedut tanpa henti selama beberapa detik. Wak Komar bilang, pasti Si Imah sedang merindukan dirinya. Mendengar itu, seisi kedai meledak dengan tawa gelak. Macam-macam orang berkomentar. Si Tule bilang, Wak Komar tak tahu diri, sudah tua masih juga merindukan Janda Imah sang pujaan hati. Yang lain menngancam akan mengadukan hal ini pada bininya yang galak luar biasa itu. Wak Komar bergeming.

Tak lama, masuklah seorang anak muda yang bersih raut rupanya ke dalam kedai. Semua mata menuju ke arahnya. Dengan sopan si pemuda bertanya pada Badrun si pemilik kedai kopi apakah mengenal seseorang bernama Komarudin juragan pemilik kebun kopra. Tanpa menoleh, dengan sudut matanya Si Badrun melirik Wak Komar. Maka, tahulah si pemuda itu orang yang dicarinya. Seisi kedai kembali riuh dengan tawa, melihat firasat Wak Komar lagi-lagi salah!. Wak Komar tak mau kalah, dia bilang, walau seorang pemdua yang datang-dan bukan si Imah-firasatnya tetap saja syah berlaku, ada orang yang merindukannya.

Wak Komar tak salah, memang si pemuda itu adalah utusan dari pamannya di pulau seberang yang menyampaikan undangan pernikahan puterinya. Dengan bangga Wak Komar berkata, “nah, kau liaht bukan, undangan ini pun bentuk rindu paman kepadaku”. Seisi kedai tetap riuh rendah dengan gelak tawa mencemooh.

Cuaca masih gelap ketika Wak Komar berjalan menuju ke kebun kelapanya di ujung desa. Namun, tak seperti biasanya, kali ini Wak Komar tidak membawa lentera. Dia hanya membawa si Abang, golok pendek kesayangannya. Dalam pikirannya, kebunnya tak jauh dan sebentar pun sinar matahari akan terlihat. Lagi pula, apa yang perlu ditakuti jika "si Abang" terselip di pinggang?.

Pelan-pelan sambil meraba gelap, Wak Komar berjalan melintasi jalan tanah yang becek terguyur hujan semalam. Melewati jalan seperti ini bukan perkara mudah buat Wak Komar, selain bisa jatuh tergelincir di jalanan yang licin, konon, kita pun harus berhati-hati akan ancaman si Hitam, macan kumbang besar, yang dua tiga tahun lewat pernah memangsa anak Dul Kalid penyadap aren. Tapi, tekad Wak Komar sudahlah bulat, dia berjalan dengan mulut berkomat-kamit, berdoa pada Tuhan agar melindunginya dari kejadian di Subuh tadi.

Suasana sepi membuat Wak Komar kurang waspada. Tak dilihatnya ada sepasang mata menyala kuning kehijauan sedang menatapnya dari atas pohon. Tiba-tiba… aummm…!!!

Paginya, seisi desa gempar ketika seorang penyadap karet berteriak-teriak telah menemukan tubuh Wak Komar terkoyak-koyak terkapar kaku bersimbah darah. Wak Komar tewas menggenaskan dengan tangan kiri nyaris putus dan tangan kanannya masih memegang si Abang, golok pendek kesayangannya. Rupanya, Wak Komar sempat memberi perlawanan, berkelahi dengan si Hitam. Kali ini firasat Wak Komar benar. Sayangnya tak sempat dia bercerita pada siapapun tentang firasatnya itu.

Sunter 5 Agutus 2009

No comments:

Post a Comment